Bacaan I : Yeremia 14:7-10, 19-22
Mazmur Tanggapan : Mazmur 84:1-7
Bacaan II : 2 Timotius 4 : 6-8, 16-18
Bacaan Injil : Lukas 18:9-14
Seorang Ibu merasakan kegentaran di dalam hatinya saat mendengarkan pendetanya berkhotbah tentang dosa. Ia pun bertekad dalam hatinya, "Sepekan ini aku tidak akan keluar dari rumah sama sekali pun dilakukan supaya bisa menjaga diri agar tidak berbuat dosa." Tekad itu kan dengan penuh kesungguhan oleh sang ibu. Ia benar-benar diam di dalam rumah supaya tidak perlu bertemu seseorang dan tidak berbuat dosa. Saat hari Minggu tiba, sang ibu pun dengan bangganya datang ke gereja dengan sebuah keyakinan bahwa ia tidak melakukan dosa karena selama satu pekan ini ia tidak keluar rumah dan tidak berbuat dosa. Pertanyaannya adalah apakah benar sang ibu tidak berbuat dosa hanya karena ia tidak keluar dari rumah? Sesungguhnya, saat ia datang de-ngan penuh kebanggaan pun, ternyata di sana ia sudah berbuat dosa. Ya, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang tidak berdosa.
Semua agama mengenal konsep dosa dan penebusan dosa. Ada berbagai macam pandangan terkait dosa, karena memang dosa tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Ada yang berpandangan bahwa manusia dilahirkan tanpa memiliki dosa. Ada juga yang berpendapat bahwa sejak lahir sudah membawa dosa turunan atau dosa asal. Namun, saat diperhadapkan dengan hidup manusia, ternyata ada dua sikap religius manusia. Ada orang yang menyadari bahwa dirinya adalah orang yang berdosa atau tidak terlepas dari dosa, sehingga ia harus terus menerus melakukan pengakuan dosa dan hidup di dalam anugerah pengampunan. Ada juga orang yang merasa bahwa ia telah menjalani kehidupan dengan sangat baik sesuai dengan firman Tuhan, sehingga ia merasa tidak perlu lagi mengaku dosa atau merasa berdosa, dan sering kali memandang dirinya begitu tinggi sementara orang lain begitu rendah. Padahal, untuk bisa hidup di dalam penyertaan dan lindungan Allah, diperlukan sebuah relasi yang baik dengan Tuhan. Relasi yang tidak dihalangi oleh dosa dan kesombongan diri.
Memperbaiki relasi memang tidak mudah. Namun, saat kita mampu memperbaiki relasi ada dengan penuh kesungguhan, maka relasi kita dengan Tuhan akan dapat dipulihkan. Lebih lanjut, disadari atau tidak, pemulihan relasi dengan Allah itu akan berdampak bagi pemulihan relasi di dalam keluarga.
(Disadur dari Buku Dian Penuntun Edisi 40)








