Bacaan I : Kejadian 18:1-10a
Mazmur : Mazmur 15
Bacaan II : Kolose 1:15-28
Bacaan Injil : Lukas 10:38-42
Sikap ramah berkebalikan dengan marah. Kemarahan merupakan sikap batin seseorang yang merasa terluka, lalu mengekspresikan dengan tuturan dan tindakan tertentu yang dapat menimbulkan luka bagi sesama maupun dirinya sendiri. Luka itu bisa dalam bentuk luka batin atau fisik. Sebaliknya, keramahan merupakan gerak batin dari dalam diri seseorang untuk menerima, menyambut sesamanya dengan hati, wajah, ekspresi gembira. Bagi orang Indonesia, keramahan yang terekspresi melalui wajah dan penerimaan sebetulnya bukan hal asing. Di Jawa Tengah, jika ada orang berjalan kaki dan berpapasan dengan orang lain, kata yang diucapkan adalah: nderek langkung (maaf, numpang lewat), nuwun sewu (mohon maaf). Di Jawa Barat, kata yang diucapkan: punten (permisi). Di pedesaan, jika ada orang melewati rumahnya, si tuan rumah berkata: mangga pinarak (silakan mampir). Ungkapanungkapan itu merupakan bentuk sebuah keramahan.
Keramahan menjadikan seseorang mampu mewujudkan sikap:
- Menerima bahwa dirinya adalah pribadi yang berharga serta menghargai sesamanya sebagai pribadi yang sama-sama berharga.
- Mengembangkan sikap toleransi terhadap perbedaan serta menghargai sesama.
- Sigap dalam memberikan bantuan kepada semua orang tanpa memikirkan timbal balik.
- Mencinta dengan tulus sebagai wujud syukur karena hidupnya dicinta oleh Tuhan.
Dari mana keramahan lahir? Keramahan adalah buah dari penghayatan diri seseorang sebagai pribadi yang dicinta, diterima, dan berharga. Penghayatan tersebut mengalirkan cinta, penerimaan dan penghargaan pada sesama dengan tulus. Di mana ada penerimaan pada sesama dengan ramah, di situ ada penghargaan terhadap sesama. Orang-orang yang menghargai sesamanya akan cenderung menghargai dirinya dengan baik. Dengan kata lain, keramahan pada sesama sesungguhnya merupakan bentuk keramahan pada diri sendiri serta wujud syukur pada Allah. Melalui pemberitaan firman hari ini, umat diharap memiliki pemahaman tentang keramahan sebagai praktik hidup beriman pada Allah yang ramah. Pemahaman itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui wajah penuh keramahan, bukan wajah dalam kemarahan.
(Disadur dari Buku Dian Penuntun Edisi 40)








